Showing posts with label Videography Project. Show all posts
Showing posts with label Videography Project. Show all posts

Monday, April 13, 2009

Empati Dalam Budaya “Elu-Elu, Gua-Gua” [published on OUTMAGZ Magazine for videography project: "Where R Ur Empathies, Jakartans?", 2006]


This is an article written by one of my colleagues, Yoso Bayudono, which was published in OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61 for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


Empati Dalam Budaya "Elu-Elu, Gua-Gua"
By: Yoso Bayudono

Seorang kawan yang setiap hari mengendarai mobil untuk bekerja sering bercerita tentang bagaimana setiap hari saat berangkat dan pulang kerja ia harus menghadapi macetnya jalanan Jakarta yang menggila. Saya yang bukan termasuk pengendara mobil sejati hanya mesam-mesem saja. Selama ini saya cukup puas dengan hanya memegang label penumpang (karena sudah ada supir saya…, supir kita bersama mungkin alias supir kendaraan umum) sehingga tidak terlalu mengeluh seperti dirinya meskipun sebenarnya juga sudah cukup muak dengan kondisi tersebut, hanya saja kaki tidak lelah menginjak gas, rem dan atau kopling. Hanya lidah dan hati yang lelah mengutuk. Yah…mungkin memang nasib pengendara mobil seperti itu, macet sudah menjadi penyakit kronis untuk sebuah kota besar seperti Jakarta ini. Konon bahkan kemacetan jalan pertama kali terjadi pada zaman Romawi dan masih lestari hingga kini.

Lain lagi cerita seorang kawan yang sangat irit ongkos sehingga lebih memilih untuk berjalan kaki baik untuk bepergian (jarak dekat tentunya…) maupun sekedar mencari udara segar dan berolahraga secara murah meriah. Suatu pagi ia sedang berjalan kaki di pedestrian sebuah jalan protokol yang cukup ramai di selatan Jakarta. Maklum sebagai seorang freelancer, ia tidak perlu datang pagi-pagi ke kantor, pasang muka dan absen, jadi ia menikmati jalan kaki paginya itu. Sementara kondisi jalanan macet merayap, insan-insan Jakarta serentak beranjak ke kantor, tempat meeting, sekolah, kampus dan lain-lain. Saat sedang asyik-asyiknya menikmati suasana, terdengar suara deru mesin motor di belakangnya diiringi klakson menyalak-nyalak. Kontan kawan saya itu minggir dengan wajah kaget. Melintaslah beberapa sepeda motor di pedestrian tersebut dengan wajah para pengendaranya yang bersungut-sungut, malah ada satu orang yang mengutukinya, “Mas, minggir dong…saya buru-buru nih!”. Lho……….?

Itu sekelumit kisah dari beberapa kawan yang tiap hari mengakrabi Jakarta. Menjadi salah satu bagian yang mengisi jalan-jalan Jakarta dan ruang-ruang publik lainnya. Menemui fenomena-fenomena urban yang menjadi bumbu dalam kehidupan metropolis ini. Menjadi bagian dari budaya jalanan.

Manusia Jakarta punya ruang pribadi masing-masing baik itu dalam rumah pribadi, kontrakan, kamar apartemen atau kamar kos…atau tempat apapun untuk melabuhkan diri pada akhir perjalanan hari…dan memulai hari esoknya kemudian. Di luar itu, manusia Jakarta kembali tumpah ruah di jalan dan ruang publik lainnya yang menjadi ajang bersinggungannya pribadi-pribadi manusia Jakarta lebur dalam ruang bersama, menyatu, saling berinteraksi, baik itu para pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor roda dua, tiga atau empat. Tapi masalahnya mungkin tanpa disadari manusia Jakarta sungguh berbudaya, kata-kata mutiara “elu-elu, gua-gua” masih dihayati begitu lekat , dimana porsi penggunaan ego cukup tinggi, sehingga sangat memungkinkan terjadinya friksi antar pribadi-pribadi tersebut. Akhirnya jalan dan ruang publik Jakarta menjadi semacam arena pertarungan antara para gladiator baik yang berdiri sendiri maupun yang menggunakan chariot atau kereta berkuda untuk bisa survive. Yang kuat menghajar yang lemah sehingga tidak haram hukumnya untuk menghancurkan pihak lain…apalagi bila posisinya lemah. Sikaaat!!!

Mungkin selain kawan-kawan saya, banyak dari kita yang pernah memiliki pengalaman-pengalaman seperti di atas, mungkin juga tubuh dan jiwa ini sudah lelah menghadapinya, lidah sudah lelah menyumpah serapah. Tapi pernahkah anda coba bertanya sendiri apa anda merasa ada yang salah disini? Atau semuanya malah wajar adanya dan sudah berjalan semestinya? Atau anda malahan tidak tahu apa-apa?

Hal inilah yang dirasakan oleh dua orang kawan, Sigit Kusumawijaya dan Priyanto, arsitek freelance sekaligus videographer yang mencoba menanggapi fenomena-fenomena urban yang mereka lihat selama ini dengan menciptakan karya dalam media video art berjudul Where R Ur Empathies, Jakartans? [:campaign project] “fenomena distorsi urban di jakarta dalam perspektif desain”. Dengan label urbVIZ [:studio] mereka mencoba memberikan pertanyaan yang menggelitik, nakal, dan iseng. Bukan ingin menjadi hakim dan menentukan mana yang salah dan mana yang benar, atau menjadi sufi bijak yang mampu memberikan jawaban atas semua masalah. Namun hanya mencoba mengajak kita untuk sedikit ber-empati dan menyadari adanya fenomena-fenomena urban tersebut yang ternyata menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Siapa tahu mungkin ada sedikit bagian dari sisi hati kita yang tergugah. Dan…berbuat sesuatu mungkin?

Proyek ini melibatkan beberapa pihak sebagai partner diskusi dan kontributor antara lain Andra Matin dan VistaVastu (arsitek), Iriantine Karnaya (perupa), Davy Linggar (fotografer), Komunitas Ruangrupa dan Belajar Desain, serta beberapa mahasiswa sebagai sukarelawan.

Empat isu ditampilkan dalam proyek ini. Isu pertama berjudul “Coloring the Gloominess of Jakarta’s Concrete” (reducing stress in the middle of Jakarta’s traffic). Sesuai dengan tema Outmagz edisi kali ini, isu “mewarnai kesuraman beton-beton Jakarta” ini akan dibahas secara lebih banyak.

Stres saat menghadapi kemacetan jalan selama berjam-jam dan merasa…MUAK? Sementara pemandangan di luar kaca mobil yang terlihat melulu jalan, flyover, underpass membelah dan mengitari kota dengan warna…abu-abu suram, kelam… gloomy. Jakarta seakan hanya merupakan kota dengan warna-warna mati seperti Gotham City dalam film Batman dan Batman Returns hasil imajinasi Tim Burton. Mungkinkah pemandangan yang kita nikmati sepanjang perjalanan kita turut mempengaruhi kondisi unconscious kita? Ya tidak tahu, saya kan bukan seorang psikolog atau semacamnya! Tapi saya bisa mengatakan itu MUNGKIN SAJA!…maksudnya mungkin saja stres muncul dari kondisi unconscious kita yang tidak mendapat pencerahan dari “pengalaman menjelajah kota” (bukan bisa saja saya menjadi seorang psikolog!).

Kalau tiba-tiba ada ide “nakal” untuk mewarnai semuanya dengan warna oranye, hijau, biru, me-ji-ku-hi-bi-ni-u atau mungkin polkadot kombinasi kuning dan ungu, mungkinkah akan punya efek psikologis mengurangi stres? Selama ini sering juga kita lihat di beberapa tembok jalan Jakarta yang sudah di”eksplorasi” oleh komunitas-komunitas grafiti seperti Tembok Bomber atau @rtcoholic sehingga terlihat lebih berwarna, tapi hal ini tidak lama karena beberapa hari lagi sudah berganti dengan cat favorit Pemda kota yang berwarna putih atau abu-abu, kembali menjadi foto buram Jakarta yang seperti dicetak sephia atau black & white.

Saya jadi ingat bagaimana mendiang Romo Mangun mengangkat citra kampung marjinal Kali Code di Yogyakarta yang semula berkesan kumuh dan jorok, seperti sebuah kutil dalam kemajuan kota yang harus dilenyapkan menjadi berkesan asri dan tumbuh harmonis dengan perkembangan kota. Selain didesain ulang secara sederhana namun bersahaja, Romo Mangun dengan dibantu warga dan sukarelawan memberikan “warna baru” pada kampung dengan cara mengecatnya berwarna-warni menciptakan citra baru kampung yang indah, hidup, tidak suram. Nah…kalau konsep tersebut kita terapkan dalam skala kota Jakarta secara menyeluruh…membuat Jakarta lebih berwarna dengan mengecat hutan beton Jakarta menjadi berwarna-warni…mungkin menjelajah Jakarta menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan alih-alih bikin stress. “Jakarta kota berwarna” atau “Warnai Jakarta” mungkin bisa jadi jargon pariwisata tahun depan.

Tapi kalau menjelajah Jakarta jadi aktivitas yang menyenangkan, bisa-bisa semua orang tumpah ruah ke jalan dan menambah macet jalan…meskipun itu terjadi mungkin paling tidak kita bisa menikmati dengan senang suasana macet itu!

Isu kedua berjudul “Pedestrian, abc & dis(Comforts)” mempertanyakan tentang pedestrian yang sesuai fungsinya ditahbiskan untuk menjadi “ruang pribadi” para pejalan kaki, namun realitanya sering dijumpai ruang ini diinterupsi oleh motor dan pedagang K5. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sudah nyamankah pejalan kaki berjalan di pedestrian tanpa harus was-was terserempet motor yang nyelonong lewat, atau terpaksa ikut slalom test diantara jajaran pohon dan tiang listrik, atau dihadang kumpulan pedagang K5 sehingga harus turun ke jalan “menjajah” ruang kendaraan bermotor? Setiap aktivitas membangun konstruksi ruangnya masing-masing serta menciptakan definisi atas ruang dan aktivitas itu sendiri. Bila aktivitas tersebut menjamah ruang aktivitas lain, dan budaya “elu-elu…gua-gua” masih dihayati begitu lekat, konflikpun tidak dapat dihindari.

Isu ketiga berjudul “re-PUZZLING Bus Shelter” (focusing on bus shelter contextuality) berusaha mengangkat realita halte–halte bus di Jakarta yang didesain dan diletakkan tidak kontekstual dengan lingkungannya. Mempergunakan metode mix & match & permainan puzzle, bagian ketiga ini mencoba memasukkan atau menukar desain halte-halte tersebut dengan desain halte dari luar negeri, membebaskan orang-orang untuk berpikir dan menentukan sendiri mana yang mereka anggap cocok.

Isu terakhir atau keempat menyajikan sebuah wacana tentang kota dan identitasnya. Dengan judul “(toothless) famed Landmark”, bagian ini menghadirkan ironi ompongnya landmark Jakarta. Landmark seperti patung, tugu atau lapangan terbuka yang merupakan ikon jalan atau wilayah sebagai penanda/identitas wilayah tersebut kondisinya semakin tertindas, kalah oleh pembangunan yang kurang menghormati/menghargai keberadaannya. Setiap bangunan seakan “berteriak”, saling berlomba paling tinggi, paling indah tanpa menghargai keberadaan landmark yang lebih dulu berada disana. Tugu Selamat Datang di bundaran HI menjadi salah satu contoh landmark yang terkepung oleh gedung-gedung tinggi yang masing-masing punya posisi cukup kuat .

Proyek ini sendiri merupakan semacam proyek kampanye yang akan diikuti dengan roadshow untuk pameran dan presentasi ke beberapa tempat seperti Open House Arsitektur UI, Belajar Desain Gathering, Ruangrupa, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan.

Nah…kalau selama ini kita (pura-pura?) tidak menyadari adanya fenomena-fenomena urban tersebut, terlalu cuek dengan dunia ruang hidup kita sendiri, mungkin tidak ada salahnya jika membuka sedikit jendela pemahaman kita terhadap fenomena-fenomena tersebut dengan mencoba tidak hanya berdiri di satu sisi. Sedikit mencoba memahami dan “seakan-akan” menjadi orang lain untuk bisa menyelami alam pikirnya. Trying to understand another people state of mind. Itu yang kita sebut dengan empati. Siapa tahu horison pemahaman kita bisa terbentang lebih luas dan jelas.

Jadi, sudah cukupkah anda ber-empati? Atau tidak cukup peduli? Tanya kepada orang di sebelah anda!

- Yoso Bayudono -
penggiat & kontributor Belajar Desain [:designers open community], bekerja sebagai arsitek di biro Vistavastu, penulis lepas, model amatir, tinggal di Cipete.
Yoso's blog: http://gerrilya.wordpress.com/



another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
JKT urban-cinematography [:project] >>>01 Publication on Magazine: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/13

This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title:
Empati Dalam Budaya “Elu-Elu, Gua-Gua”
Writer: Yoso Bayudono
Ilustrator: Adhi Nugroho
Status: Article on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61
Year: 2006
Achievement:
* Published on
OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

Public Response for videography project: "Where R Ur Empathies, Jakartans?", 2006


These are several responses from the public about their feeling, hope, critic and aspiration about their beloved city, Jakarta, and also comments for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


Public Response

This campaign project has been exhibited and presented in several places such as Open House Arsitektur UI 2006, Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 2006, and Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI). Many comments, critics and aspirations are given to this project. Public was really enthusiastic about the idea to make their beloved city, Jakarta be more comfortable to live humanly. Some of them are optimistic that we as the inhabitant can make a change. The other are still very pessimist. However the responses were great. It can be seen that there is still a hope and enthusiasm from people to make this greatest city of Indonesia become more livable.

These pictures were taken while the project being presented in Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 2006.

While the exhibition and presentation were held, the audience was given the paper to share their opinion about their beloved city freely. Many thought, idea, comment, feel, aspiration, critic and other else were written by them. Some of the opinions are showed in the poster below.


However change needs time. There are other initiative urban projects like this already exist either by architects, urban designers, artists, NGO's, musicians, and many other components which also have same purpose to make Jakarta more liveable. With those colorful of ideas we can still see many enthusiasm by the public. There is still a hope and we can do our best for our better city.




another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
JKT urban-cinematography [:project] >>>10 Public Responses of the Project: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/12

This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title:
videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans?
Team: Sigit Kusumawijaya & Priyanto
Year: 2006
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

Tuesday, March 31, 2009

Empathy [presentation for videography project: "Where R Ur Empathies, Jakartans?", 2006]

This is a synopsis of the introductory presentation for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to describe what "empathy" is and why we should empathize others.


"Empathy"

  • the identification and understanding of another’s situation and feelings
  • the action of being sensitive to another person’s experience and feelings
  • understanding and entering into another person’s feelings




While the ability to imagine oneself as another person is a sophisticated imaginative process which only fully develops later on in life, the roots of this ability are probably innate.

Human capacity to recognize the emotions of others are related to our imitative capacities, and seem to be grounded on the innate capacity to associate the bodily movements and facial expressions we see, with the proprioceptive feelings of those same movements or expressions.




Humans also make the same immediate connection between the tone of voice and inner feeling. Hence by looking at the facial expressions or bodily movements of others, or hearing their tone of voice, we are able to get an immediate sense of how they feel on the inside.

We experience this as directly seeing their emotion (say sadness or anger) not just the behavioral symptoms of that emotion.





One must be careful not to confuse empathy with sympathy, which is a distinct social emotion characterized by a general pro-attitude towards another person and their goals.



empathy can affect sympathy




Some experts (psychologist, scientist, psychiatrist) believe that not all humans have an ability to feel empathy or perceive the emotions of others. For instance, Autism and Asperger's syndrome are often characterized by an inability to empathize with others.




Even more, People can empathise with animals.

As such, empathy is thought to be a driving psychological force behind the animal rights movement (an example of sympathy), whether or not using empathy is justified by any real similarity between the emotional experiences of animals and humans.





just try to do these simple things:
See what other sees

Hear what other hears

Feel what other feels




another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
JKT urban-cinematography [:project] >>>03 Presentation about "Empathy": http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/5

This project has been presented on
Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title: Empathy
[introductory presentation for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans?]
Presenter: Sigit Kusumawijaya
Team: Sigit Kusumawijaya & Priyanto
Year: 2006
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

Wednesday, March 25, 2009

(toothless) famed Landmark [videography project, 2006]


This project is one of the issues from the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


(toothless) famed Landmark
[issue #04]


[scroll down for English version]


[Bahasa Indonesia]


Latar Belakang
Landmark. Suatu wilayah atau kawasan atau daerah dapat dikenali oleh masyarakat melalui keberadaaan landmark. Dan begitulah kira-kira tujuan dan maksud diberadakannya sebuah landmark yang mungkin letaknya tidak hanya sekedar petanda wilayah, namun juga menjadi penghias wilayah, jika kita kaitkan dengan pengolahan kota dan wilayah. Di Jakarta, tidak hanya satu dua landmark yang ada, yang mungkin sering sekali kita lihat terutama di kawasan perkotaannya. Menjadi sebuah ikon yang kadang begitu disukai bahkan oleh anak kecil yang melihat semacam patung batu besar dengan proporsi yang tidak manusiawi dan berlekuk dengan satu macam gaya yang kadang mengundang tanda tanya. Namun ke-gigantisme-annya yang memang ditujukan agar semua orang yang melintasi suatu wilayah atau kawasan itu bisa melihat, selain menjadi penghibur perjalanan di kawasan perkotaan terutama yang kadang menjenuhkan dengan image kemapanan dan kejayaan yang semu.

Tujuan projek ini adalah untuk menjadi sebuah wacana tentang kota dan identitasnya dengan segala kemajuan yang dimilikinya. Menjadi sebuah gambaran realita hilangnya (baca: memudarnya) ikon-ikon jalan atau wilayah karena pembangunan yang kurang bisa mengendalikan diri dengan segala penghormatannya terhadap kota.



[English]

Background
Landmark. The area or space can be recognized or identified by the people with the existence of the landmark. And it is the purpose and mean of landmark which not only as a mark for an area but also as an aesthetic element of some area. In Jakarta, there are not only one or two landmarks that perhaps we often see especially in the urban area. Becoming as an icon that perhaps kids very much like of its shape who see a kind of giant rock sculpture which in unhuman proportion and raise a question. However its gigantism which has a purpose so that every person passing the area can see, beside as an entertainment of the journey in the urban area that often boring with the fake greatness.

The purpose of this project is become a discourse about city and its identity with their progressive development. Becoming a reality image about the fade of area and street icon because of uncontrollable development with all respects towards the city.


video #05 - (toothless) famed Landmark
youtube link: http://www.youtube.com/watch?v=EoOyvbRbgLg

another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
[captured video]: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/6/6
[video]:
http://sigitkusumawijaya.multiply.com/video/item/31/Priyanto_Sigit_-_05_toothless_famed_Landmark


This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title: (toothless) famed Landmark

Director: Priyanto
Editing: Priyanto
Duration: 4'53''
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

re-PUZZLING Bus Shelter [videography project, 2006]


This project is one of the issues from the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


re-PUZZLING Bus Shelter
[issue #03]


[scroll down for English version]


[Bahasa Indonesia]


Latar Belakang
Isu ini ingin mengangkat fenomena banyaknya halte bus yang tidak sesuai dengan konteks lingkungannya. Halte-halte bus didesain sedemikian serupa harus disesuaikan dengan konteks lingkungannya. Di Jakarta, halte-halte bus pada daerah Business District seperti di area Sudirman-Thamrin sudah tepat dalam hal desainnya yang sesuai konteks lingkungannya. Halte-halte lain di daerah sekeliling monas juga sudah didesain sesuai konteks lingkungannya. Namun masih banyak halte-halte yang didesain dan diletakkan tidak sesuai konteks lingkungannya. Bahkan cenderung halte bus tersebut banyak yang sudah tidak berfungsi dan rusak sehingga banyak penumpang bus yang tidak memakai halte tersebut dengan semestinya yang mengakibatkan bus atau angkutan umum lain berhenti sembarangan karena penumpangnya tidak merasa nyaman menunggu di halte tersebut. Permasalahan ini coba ditangkap dan dianalisis untuk dicarikan penyelesaian-penyelesaian yang sederhana dan bersifat menggugah dan menyentil.

Tujuan dari projek ini adalah untuk mengangkat realita halte-halte bus di Jakarta yang banyak didesain tidak sesuai konteks. Disini dicoba untuk saling menukar halte, baik yang kurang kontekstual ditukar dengan yang lebih kontekstual, ataupun juga menukar halte yang sudah kontekstual dengan yang tidak kontekstual sebagai sebuah satire dan sindiran.



[English]

Background
This issue want to raise phenomenon of many bus stop that not suitable with the context of its environment. Bus stops is designed to match with its context. At Jakarta, bus stops on the Business District area like Sudirman-Thamrin corridor have already matched with its environment context in term of its design and function. It also happens in the area of National Monument (Monas). However there are still many bus stops designed not suitable with the context. Indeed those bus stops are already broken so that passengers do not use it properly that result in bus or other public transportation stop in the proper place. Those passengers do not want to wait at those bus stops because of uncomfortable reason.

The purpose is to raise the reality of bus stops in Jakarta that are designed unsuitable with the context. In this project we try to exchange bus stops one with another to let the viewer think and decide and also as a satire of the bus stop malfunction.


video #04 - re-PUZZLING Bus Shelter
since Warner Music Group blocked the video I put in youtube link: http://www.youtube.com/watch?v=mPt1qXP7NHc you can watch video below
another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
[captured video]: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/7/7
[video]:
http://sigitkusumawijaya.multiply.com/video/item/39


This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title: re-PUZZLING Bus Shelter

Director: Sigit Kusumawijaya
Editing: Sigit Kusumawijaya
Duration: 5'40''
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

Wednesday, December 17, 2008

Pedestrian, abc & (dis)Comforts [videography project, 2006]


This project is one of the issues from the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


Pedestrian, abc & (dis)Comforts
[issue #02]


[scroll down for English version]


[Bahasa Indonesia]


Latar Belakang
Jalan kaki. Entah kenapa ada sebuah pertanyaan (di kepala penulis), kenapa masyarakat Jakarta malah berjalan kaki, padahal ada yang namanya trotoar. Jawabannya bisa bermacam-macam. Karena panas (memang Jakarta panas), karena debu bus kota yang membabi buta, karena tidak nyaman dengan kondisi pedestrian yang tidak terawat, atau karena sekedar gengsi jika harus berjalan kaki di kota Jakarta yang fasilitas transportasinya telah lengkap (meski tidak juga terbebas dari kemungkinan-kemungkinan diatas). Namun ternyata setelah kita coba sedikit lihat lebih jauh, kemungkinan itu tidak hanya sebatas itu. Sering kita melihat di televisi atau film-film (barat), betapa tenangnya seorang aktris berjalan sendiri di tengah kota, sendiri, bahkan sudah agak malam. Ternyata memang, kondisi pedestrian di kota tercinta yang bernama Jakarta ini cukup kronis. Seorang pejalan kaki seolah tidak diberi ruang untuk berjalan, bahkan tanpa menggunakan predikat ‘nyaman’. Memang perlu diakui juga tidaklahsemua jalur pedestrian di Jakarta ini sudah diperkosa habis semua oleh para penjahat-penjahat jalanan, dan sudah ada sedikit upaya dari pihak yang memang berwenang untuk menangani permalahan tersebut.

Tujuan dari projek ini menjadi sebuah pertanyaan, apakah masih perlu adanya jalur pedestrian. Atau sekalipun kita masih berjalan di jalur pedestrian yang memang ada, apakah itu memang untuk pejalan kaki, atau memang bukan untuk pejalan kaki saja.



[English]

Background
Walking. There is a big question in the head of filmaker, why Jakarta society is quite lazy to walk, whereas there is a pedestrian path. The answer could be variable. Because of hot (indeed, Jakarta is very hot), or dust from the city bus which like a machine gun, or there is gangster that ready to rob with their weapons, or because of not convenient with the condition, or even prestige to ride a vehicle. Apparently after we try to look further, the possibility is not only those reasons. We often watch on the television or wester film, how all the pedestrian is very convenient to walk alone in the middle of the city even in the midnight. In fact the conditon of pedestrian path in Jakarta is very chronic. A pedestrian is not given a space to walk, even without “comfort” term. We can admit that not all of the pedestrian path in Jakarta have been ripped by the street felon, but there is also some effort from the municipality to solve these problems.

The purpose of this project is as a question if Jakarta still needs a pedestrian path. Or eventhough we still walk in that pedestrian path, is it only for pedestrian or is it also for other users?


video #03 - Pedestrian, abc & (dis)Comforts
youtube link: http://www.youtube.com/watch?v=MQOOVq7ifmI&feature=channel_page

another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
[captured video]: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/8
[video]:
http://sigitkusumawijaya.multiply.com/video/item/32


This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title: Pedestrian, abc & (dis)Comforts

Director: Priyanto
Editing: Priyanto
Duration: 6'29''
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

Coloring the Gloominess of Jakarta Concrete [videography project, 2006]


This project is one of the issues from the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


Coloring the Gloominess of Jakarta Concrete
(reducing stress in the middle of Jakarta traffic) [issue #01]

[scroll down for English version]


[Bahasa Indonesia]


Latar Belakang
Isu ini ingin mengangkat permasalahan urban Jakarta yang paling jelas terlihat, yaitu masalah kemacetan jalan raya. Apa yang dirasakan para pengendara ketika mengalami macet? Apakah mereka merasa suntuk atau bahkan stres ketika menunggu dalam kemacetan? Kalau kebanyakan pengendara mengalami hal-hal itu, kita mencoba mencari tahu apa yang dapat menjadi penyebab keadaan suntuk atau stres tersebut. Penyebab-penyebab tersebut coba dihubungkan dengan psikologi arsitektur, seperti efek warna dalam ruang publik terhadap psikologis manusia. Apakah warna-warna dalam ruang publik tersebut dapat mempengaruhi psikologis manusia? Apakah warna-warna suram yang terdapat di bypass, flyover, maupun underpass dapat membuat pengaruh terhadap psikologis orang-orang yang sedang mengalami kemacetan menjadi lebih stress ataupun mempengaruhi emosi manusia?

Tujuan dari projek ini adalah untuk mengangkat fenomena kemacetan yang terjadi di urban Jakarta dan bagaimana pengaruhnya terhadap psikologis orang yang sedang mengalaminya.



[English]

Background
The issue wants to raise the problem of urban Jakarta which we can see clearly, traffic jam. What do the drivers feel when they trap in the traffic? Are they feel bored, weary, tired or even stress when they wait in the busy traffic line? If most of the driver suffer with those kind of feelings, we try to find what caused it. The reasons try to be related with the architecture psychology, for instance the colour effect in the public space towards the human psychology. Are those colours in the public space can affect towards the human psychology? Is the gloomy concrete on the wall of flyover and underpass can make an influence to the psychology of people who trap in the traffic more stress or affect human emotion?

The purpose is to raise the phenomenon of traffic happened in urban Jakarta and how the effects towards psychology of human who trap in it.


video #02 - Coloring the Gloominess of Jakarta Concrete
youtube link: http://www.youtube.com/watch?v=HwJoHG-oujY&feature=channel_page

another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
[captured video]: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/9
[video]:
http://sigitkusumawijaya.multiply.com/video/item/32


This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title: Coloring the Gloominess of Jakarta Concrete

Director: Sigit Kusumawijaya
Editing: Sigit Kusumawijaya
Duration: 6'56''
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61