Monday, April 20, 2009

Urban Regeneration [book review]


This writing is a
critical comments of the Urban Regeneration book written by Peter Roberts and Hugh Sykes, submitted for the Master study course Social Development of the Department of Urbanism, Faculty of Architecture, Delft University of Technology (TU Delft) and also as a reference of the next paper for the same course.


Urban Regeneration [book review]
by: Sigit Kusumawijaya


This writing is more or less analysed based on Urban Regeneration book by Peter Roberts and Hugh Sykes. The book itself is quite clear and comprehensive to explain about how urban regeneration works in several places in the world, the theory, managing, monitoring and evaluating urban regeneration. The book also review and reexaminating the history and context of urban regeneration, look deeply at education, economy, politic, social and environmental aspects and also consider at implications of funding.

The book is organized orderly from the introduction part that explain about the context, history, evolution, definition, purpose and also strategy and partnership in dealing with urban regeneration. Next part explains more focus on several topics, for instance economy, physical and environmental, social and community, employment, education and training, and housing. Then, how to manage urban regeneration is explained in the next part, for example the monitoring and evaluating the result, and organisation and management of urban regeneration. The last chapter is about the study case examples of how urban regeneration is implemented in United States and Europe.

Relate with the infrastucture regeneration issue in Jakarta, this book is quite helpfull for the author to analyze. Since the beginning of the book part, author could easily relate the special infrastructure regeneration issue in Jakarta with the book by understanding of all the explanation. The most problem to understand this book is about the difficulty of language used in this book. Some statements are quite difficult to be understood. However, with all the comprehensive explanation, this book is required reading for students of urban studies and practitioners involved in regeneration.



another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site: Urban Regeneration: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/reviews/item/11
link to buy this book in Amazon.com: http://www.amazon.co.uk/gp/product/0761967176/ref=sib_rdr_dp


Work Description:
Title:
Urban Regeneration [book review]
Writer: Sigit Kusumawijaya
Status: book review submitted for the Master Study course Social Development of the Department of Urbanism, Faculty of Architecture, Delft University of Technology (TU Delft)
Year: 2006

Saturday, April 18, 2009

Keringnya Warna-warna Baru dan Segar dalam Kekayaan Seni dan Desain Indonesia [exhibition review]


This writing is a review for Biennale Jakarta 2006 exhibition "BEYOND", May 22nd - June 25th, 2006 at Jakarta.



Keringnya Warna-warna Baru dan Segar dalam Kekayaan Seni dan Desain Indonesia

(sebuah refleksi dari pameran Biennale Jakarta 2006 “BEYOND”, 22 Mei-25 Juni 2006)
by: Sigit Kusumawijaya

Menyusuri masa lalu merupakan sebuah perjalanan yang dapat membangkitkan memori kita tentang kenangan-kenangan baik yang indah maupun buruk yang telah lewat. Namun melihat masa lalu tanpa mengambil intisari dan hikmah yang terkandung di dalamnya akan membawa kita pada kekeringan ide untuk memperkaya khasanah kita ke depannya. Kurangnya karya-karya baru yang fresh inilah yang terlihat pada pameran Biennale Jakarta 2006 yang diselenggarakan pada tanggal 22 Mei-25 Juni 2006 di beberapa tempat di Jakarta seperti Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni & Keramik, Galeri Cipta II & III TIM, Galeri Cemara 6 dan Galeri Lontar. Masing-masing tempat mempunyai tema sendiri-sendiri untuk karya-karya yang dipamerkannya. Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni Rupa & Keramik memamerkan karya dengan tema “Milestone” atau Tonggak Sejarah. Galeri Cemara 6 dan Galeri Lontar mengusung tema “The Others” yang berisi karya-karya perupa ekspatriat. Sedangkan di Galeri Cipta II & Galeri Cipta III TIM memakai tema “Beyond” yang banyak memamerkan karya dengan menggunakan media baru.

Menurut namanya sendiri, Biennale merupakan sebuah tradisi pameran seni rupa internasional yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali dan melibatkan sekelompok juri internasional untuk menghimpun dan melakukan penilaian atas karya-karya yang dipamerkan. Pameran Biennale yang terkenal salah satunya adalah Venice Biennale yang telah berlangsung sejak tahun 1895. Namun kemudian banyak kota besar dunia lainnya yang juga secara rutin mengadakan pameran Biennale internasional, seperti Sao Paulo, Paris, Teheran, Tokyo dan kota-kota lainnya, tak terkecuali Jakarta, Bali dan Yogyakarta.

Sedangkan sejarah pameran Biennale di Indonesia sendiri baru dimulai sejak tahun 1974, namun pada waktu itu belum dinamakan “Biennale”. Penggunaan nama “Biennale” dimulai sejak tahun 1982. Penyelenggaraan pameran Biennale Jakarta sendiri banyak mengalami pasang surut sejak pertama kali diadakan pada tahun 1974. Sejak pameran tahun 1974, 1976, 1978 dan 1980 keseluruhan karya masih berupa karya lukis dengan nama pameran “Pameran Besar Seni Lukis Indonesia”. Hingga akhirnya mulai pada pameran 1982 kemudian berturut-turut 1984, 1987, 1989, 1993, 1996, 1998, sempat mandeg cukup lama dan terakhir yang sekarang 2006, karya yang dipamerkan mulai beragam, dari karya lukis, patung, instalasi, performance art, sampai karya-karya dengan menggunakan media baru. Nama pamerannya pun mulai menggunakan Biennale seperti pada pameran tahun ini, Biennale Jakarta 2006.

Selain pameran Biennale Jakarta 2006 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, Indonesia juga mempunyai pameran Biennale lainnya seperti Biennale Bali, Biennale Yogyakarta dan yang terakhir CP Biennale. Menurut keterangan, mulanya Biennale Jakarta ini rencananya dilangsungkan sekitar bulan Desember 2005, namun karena waktunya sangat dekat dengan pameran Biennale lainnya yang pada tahun 2005 diselenggarakan secara berangkaian dan banyaknya peserta yang belum siap dikarenakan karya-karya yang ditampilkan harus berbeda dari Biennale satu ke Biennale lainnya, maka penyelenggaraan Biennale Jakarta ini terpaksa mundur.

Mengusung tema besar “BEYOND”, pameran kali ini berusaha menafsirkan kenyataan-kenyataan masa lalu maupun masa kini dari seni rupa Indonesia. Dengan menggunakan kata “BEYOND”, dewan penyelenggara dan kurator ingin mengungkapkan sebuah pembacaan terhadap berbagai fenomena budaya dan perkembangan seni rupa Indonesia yang memiliki pola khas dan “menyimpang” dari perspektif dan konstruksi pemikiran yang lazim; atau, sejarah perkembangan seni dan budaya modern kita yang “subversif” sesungguhnya tidak dapat ditaklukkan hanya dengan teori-teori yang terbatas. Berdasarkan keterangan, dari persepektif sejarah seni rupa modern Indonesia, kata BEYOND dapat dipahami sebagai “bagian terpisah” dari sejarah seni rupa dunia, dan selalu menunjukkan “keterpisahannya” karena tidak mengikuti proses perkembangan yang runtut dan “logis” dari perspektif seni rupa dunia.

Berikut penulis akan mencoba mengulas isi dari pameran tersebut menurut perspektif penulis secara singkat di tiap-tiap tempat pameran, kecuali Galeri Lontar, dikarenakan waktu yang tidak mencukupi untuk mendatangi keseluruhan tempat pameran dalam satu hari. Di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni & Keramik yang keduanya mengusung tema “Milestone” atau Tonggak Sejarah, karya-karya yang dipamerkan kebanyakan karya lukisan dari generasi pelukis terdahulu seperti Hendra Gunawan (dengan judul Pengantin Revolusi), Sapto Budoyo (Peratapan Gerilya), S. Sudjojono (Prambanan 3 Juli 1949/tahun pembuatan: 1968, Ketoprak/1970, Laskar Tritura/1966, Rontok/1966 dan High Level/1970), Otto Djaja (1946-1947), Agus Djaja (Kuda Kepang/1955), Affandi (Pemakaman Raja Inggris/1952, Ibuku/1994), Ade Pirous (Bersepeda/1966), Bagong Kussudiardjo (Tangki Minyak/1970), Jim Supangkat (Pengumuman/1975), Basoeki Abdullah, Henk Ngantung (Gadis/1947), Dullah, Soedibyo, Raden Saleh (Badai/1857), dan lain-lain. Karya-karya lukis yang masih baru hanya sedikit seperti karya Astari (Elvis/2006, Envy/2006), Hendro Suseno (Munir/2001) Laksmi Shitaresmi (The Passion of Life/2006), Entang Wiharso (Justification/2006), Yusuf Affendi (Udan Lisris Pagi/2006), Hanafi (Janin Merah/2006) dan Ivan Sagita (Sepasang Terpisah/2006). Selain karya lukis, ditampilkan pula karya-karya lain seperti pematung Iriantine Karnaya (seorang dosen Seni Rupa di Arsitektur UI dari penulis) dengan karyanya Unlimited (2006) dan Gula & Semut (1995), Nyoman Nuarta (Borobudur) dan Rita Widagdo (2005), serta fotografer Oscar Motuloh dengan karya fotografinya: The End. Yang lainnya seperti karya instalasi & video art Agoes Djolly, karya instalasi ilalang oleh Nyoman Erawan (Ritus Kepala Tertusuk-tusuk) dan video art karya Krisna Murti (No Hero/2006) yang mencoba untuk mengajak kita berempati terhadap TKW-TKW yang sedang bekerja di luar negeri seperti Singapura, Hongkong dan Shanghai.

Dari keseluruhan karya di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni & Keramik ini terlihat bahwa panitia ingin menampilkan sejarah perkembangan seni lukis dan seni rupa di Indonesia dari masa pelukis Raden Saleh hingga generasi sekarang. Namun menurut sudut pandang penulis, yang terlihat justru terlalu banyaknya karya-karya lama yang ditampilkan dan sedikitnya karya-karya baru, sehingga dapat menjadi sebuah pertanyaan apakah karya-karya baru yang masuk ke dewan kurator memang kurang untuk pameran sebesar Biennale Jakarta ini. Tata letak karya juga cenderung tidak diatur per kategori ataupun dengan terlalu banyaknya karya yang dipamerkan sehingga pengunjung tidak dapat fokus untuk satu karya saja, karena karya lain letaknya terlalu dekat. Memang beberapa karya, walaupun karya lama, masih terlihat sebagai sebuah karya yang abadi seperti karya Raden Saleh, Affandi dan Basoeki Abdullah sehingga masih terlihat eksotis keindahannya. Karya-karya seniman generasi baru yang menarik juga bisa dilihat dari karya Nyoman Nuarta, Iriantine Karnaya, Rita Widagdo, Agoes Djolly, Nyoman Erawan dan Krisna Murti.

Di tempat lain, Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III TIM, memakai tema “Beyond” dan lebih menampilkan seniman-seniman baru yang berpameran seperti Rudy Rahadian dengan patungnya yang menggunakan bahan baja dengan judul: Tanpa Judul (2005) dan Hukuman (2006), video art karya Ridwan (Sendirian/2006), Tintin Wulia (kolega penulis ketika membantu pameran Andra Matin di CP Biennale 2005) dengan karya videonya Exercising Realities part 1: Ever After (2006), karya instalasi Bunga Jeruk (Varisasi), instalasi & video Nevfita Primadewi ((tidak) 100% Bebas Seniman/2006), film semi dokumenter karya Ariani Darmawan (Anak Naga Beranak Naga/2006), Yuriza Kenobi & Dendi Darman dari Endjoy Division dengan karya mix media-nya: Make War Love Too (2006) dan lain-lain. Karya-karya seniman muda ini terlihat sangat kurang kuantitasnya sehingga secara keseluruhan terasa kering kualitas. Karya-karya yang penulis anggap menarik dan inovatif seperti karya Bunga Jeruk sebagai sebuah satire dari kondisi keluarga di Indonesia, Ariani Darmawan dengan karya filmnya Anak Naga Beranak Naga yang baru-baru ini juga di-launch di beberapa tempat, serta karya Tintin Wulia yang menampilkan sebuah video art realita tentang pernikahan Andrew Linggar-Angela Andini dengan kespontanan para pelaku acara pernikahan tersebut.

Sedangkan di Galeri Cemara 6 hanya menampilkan empat buah karya perupa ekspatriat. Mereka kesemuanya warga asing yang sering mengunjungi dan pernah menetap di Indonesia untuk berkarya seperti Ann Wizer (USA, Jakarta, Manila) dengan karyanya: Under the Doors & Over The Wall, Midori Hirota (Jepang, Bali) dengan karya: The Back Affection, pelukis Pieter Dittmar (Jerman, Ubud, Sydney) dengan karya-karya lukis kontemporernya dan yang terakhir Hie Siok Ke (Korea, Finlandia) dengan karya instalasinya. Pameran di Galeri Cemara 6 dan di Galeri Lontar mungkin hanya sebagai pelengkap dari keseluruhan pameran Biennale Jakarta 2006 ini karena hanya sedikit karya yang ditampilkan. Penulis hanya menaruh poin yang menarik pada karya Ann Wizer yang menggunakan bahan kertas-kertas sampah yang didaur ulang dan dikemas dalam bantal-bantal plastik transparan yang kemudian disusun menjadi sebuah karya yang menarik. Karya-karya lainnya mungkin masih sama kualitasnya dengan karya-karya seniman Indonesia.

Secara keseluruhan, pameran Biennale Jakarta 2006 ini menurut kacamata penulis sangat kurang akan karya-karya baru yang segar sehingga yang lebih banyak ditampilkan adalah karya-karya seniman dari generasi terdahulu yang kebanyakan juga sebetulnya karya-karya yang berasal dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta dan Museum Seni & Keramik. Kesan yang timbul adalah karya-karya seniman baru tidak banyak yang masuk ke dewan kurator, sehingga akhirnya yang ditampilkan adalah karya-karya lama tadi. Walaupun tema besar yang diangkat adalah “Beyond”, namun dari segi porsi keseluruhan karya baru sangat kurang. Terlalu banyaknya karya yang dipamerkan ini juga dapat membuat fokus pengunjung menjadi tidak jelas karena terlalu sering diinterupsi oleh karya lain disaat pengunjung sedang fokus ke sebuah karya. Hal lain yang menjadi titik kritis dari penulis adalah bahwa dari sisi lokasi pameran, penyebaran karya-karya kurang diperhatikan dengan jeli, sehingga penumpukkan karya terlihat pada Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni & Keramik. Tempat pameran lainnya sangat kurang akan karya. Meskipun mungkin panitia ingin mendekatkan acara pameran dengan ulang tahun yang ke-479 kota Jakarta pada bulan Juni ini sehingga penyebaran pameran dilakukan di beberapa titik Jakarta agar merata, namun lagi-lagi porsinya tidak seimbang. Publikasi pameran juga masih terasa kurang gaungnya, mungkin masih kalah dengan publikasi CP Biennale 2005 yang lalu (yang terbantukan oleh media infotainment atas kasus bugilnya Anjasmara). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Bambang Bujono, wartawan dan penulis seni rupa di harian Kompas, Minggu, 4 Juni 2006, penulis juga mempunyai anggapan sama bahwa secara keseluruhan karya seni lama yang dipamerkan jauh lebih bagus daripada yang “new-new” ini.

Terlepas dari kritik semua di atas, ada sisi positif yang bisa diangkat dari sebuah pameran Biennale Jakarta 2006 ini. Dengan menjelajahi waktu melihat karya-karya seni dari generasi terdahulu yang sangat tinggi nilai estetika dan moralnya, kita dapat memetik pelajaran dari mereka akan kaya dan beragamnya seni Indonesia dan berusaha untuk berbuat dan berkarya yang lebih baik dengan dibantunya kemudahan-kemudahan informasi dan teknologi. Bagi penulis pribadi dan teman-teman yang sama-sama masih ingin belajar tentang desain dan seni, kesempatan-kesempatan melihat sejarah perkembangan karya-karya seni Indonesia dari generasi terdahulu hingga generasi kita sekarang seperti ini sangat langka terjadi. Pengalaman-pengalaman seperti ini secara sadar ataupun tidak dapat memperluas khasanah akan seni dan desain serta menjadi sebuah kosakata yang tersimpan dalam memori kolektif masing-masing kita untuk berkarya ke depannya.

Salam dan terima kasih.

- Sigit Kusumawijaya -


another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site: Keringnya warna-warna baru dan segar dalam kekayaan seni dan desain Indonesia: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/journal/item/3


Work Description:
Title:
"Keringnya Warna-warna Baru dan Segar dalam Kekayaan Seni dan Desain Indonesia"
Writer: Sigit Kusumawijaya
Status: Exhibition review
Year: 2006

Wednesday, April 15, 2009

Nilai Keserdehanaan dan Kejujuran Sebuah Desain [journey review]


This writing is a review for a journey of Yogyakarta and Solo in 2006. With his colleagues:
Rafael, Arko, Bayu, Gita, Novy, Riska, Novie and Sietze Meijer, Sigit had an excursion in some gorgeous architecture spot.


Nilai Keserdehanaan dan Kejujuran Sebuah Desain
by: Sigit Kusumawijaya

“jalinan kata terkadang belum mampu mewakilkan perasaan dan pengalaman yang dialami secara langsung”

Tulisan ini saya buat sebagai catatan perjalanan saya dan beberapa orang teman (yaitu dari Jakarta: Rafael, Arko, dan Bayu, arsitek muda yang bekerja di PT. Han Awal & Partners, Gita dan Novy, 2 orang penulis muda tentang arsitektur yang bekerja dengan Imelda Akmal, Riska dan Novie, lulusan arsitektur UPH dan seorang teman dari TU Delft Belanda, Sietze Meijer yang sedang magang di PT. Han Awal & Partners juga, teman dari Yogyakarta: Hari, dosen muda arsitektur UGM dan Eby, mahasiswa arsitektur Universitas Duta Wacana angkatan 2001, dan terakhir dari Solo: Andhika dan Galuh, lulusan arsitektur UNS, serta Tiwi, mahasiswa arsitektur UNS angkatan 2004) ketika melakukan perjalanan selama 5 hari ke daerah Yogyakarta dan Solo beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 24-28 Mei 2006. Tulisan ini hanya sekedar membagi apa yang telah kami rasakan dan alami selama perjalanan dan bagaimana kami dapat menemukan sebuah pengalaman dan pelajaran yang berharga tentang desain.

Dengan menggunakan transportasi dan akomodasi yang seadanya (pas-pasan) karena setengah backpacking setengah refreshing (kereta Bisnis, mobil sewaan dan meminjam mobil kawan, menumpang rumah kawan dan Guest House) dan diselingi pengalaman yang mengesankan karena sempat merasakan gempa pada hari Sabtunya (beruntung kami sedang berada di Solo ketika itu, namun cukup besar juga getaran yang dirasakan dari Solo) kami mendapatkan sebuah pelajaran tentang nilai kesederhanaan dan kejujuran dari sebuah desain.

Butet's House and Butet & Jaduk's Studio design by Eko Prawoto

Selama ini saya sering melewati daerah Yogyakarta dan Solo kalau sedang mudik lebaran, namun biasanya saya hanya berhenti di tempat-tempat yang terkenal saja seperti Malioboro, Keraton Yogyakarta, Candi Borobudur, Prambanan atau Pasar Gede. Baru setelah melakukan perjalanan kemarin ternyata selama ini saya melewatkan objek-objek indah yang memiliki kualitas desain yang sangat mengagumkan dan secara sederhana dan jujur dapat mewakili kontekstualitas objek tersebut terhadap lokasinya yaitu Yogyakarta dan Solo.

Dengan jadwal yang cukup padat tiap harinya, kami menghabiskan perjalanan dengan mengunjungi tempat-tempat seperti di daerah Yogyakarta: tempat retreat dan perziarahan Sendang Sono karya Romomangun di daerah Muntilan, melewati Candi Borobudur dari jaman dinasti Syailendra karya Gunadharma di abad ke-9, Cemeti Art House (rumah seni yang pernah mendapatkan IAI/Ikatan Arsitek Indonesia Award) karya arsitek Eko Prawoto (satu-satunya arsitek Indonesia yang pernah diundang ke pameran Venice Biennale), sanggar seni serta studio rekaman milik Butet Kartarahardja dan Djaduk karya Eko Prawoto, rumah tinggal Butet karya Eko Prawoto juga, serta rumah Eko Prawoto sendiri, Candi Prambanan dari jaman dinasti Sanjaya dengan rajanya Rakai Pikatan, tempat pemandian putri Kraton Yogyakarta Taman Sari karya arsitek dari Portugis dan melewati Kali Code karya Romomangun yang berhasil mendapatkan penghargaan internasional Aga Khan Award. Sedangkan di Solo kami mengunjungi tempat-tempat seperti sanggar seni budaya Sono Seni milik Sardono W. Kusumo (seniman), guest house tradisional bernama Cakra, kampus UNS, kantor Java Plant di Tawangmangu karya arsitek Andra Matin (sebuah proyek yang saya pernah terlibat namun belum sempat melihat secara langsung) serta rumah karya arsitek Idris Samad dan 3 buah karya seorang kontraktor bernama Paulus.

Eko Prawoto's House design by Eko Prawoto

Selain mengunjungi dan merasakan objek-objek tersebut, kami juga mendapat kesempatan belajar (kuliah singkat) dari orang-orang yang terlibat langsung dengan karya-karya tersebut seperti dari teman-teman di Cemeti Art House (kolega Belajar Desain juga), bapak Bambang yang menjadi pengurus di sanggar seni milik Butet dan Djaduk, bapak Eko Prawoto sendiri di rumahnya, salah seorang pengurus sanggar seni Sono Seni milik Sardono W. Kusumo serta bapak Paulus yang dengan baik hati mengantarkan kami ke tempat objek-objek yang merupakan karyanya sendiri.

Di Jakarta atau kota-kota besar lainnya kita sering disuguhi dengan berbagai macam desain dengan beragam style, corak, karakter, tren dan lain sebagainya. Namun terkadang dengan dipesonakannya kita dengan bermacam-macam ragam tersebut, kita seperti terbuai dengan gemerlapnya warna-warni desain yang beragam yang akhirnya membawa kita untuk ikut berlomba meramaikannya. Kadang kita lupa dengan apa yang namanya kontekstualitas. Setelah merasakan pengalaman-pengalaman tadi akhirnya timbul pertanyaan dari benak masing-masing kami, apakah Jakarta atau kota-kota besar lainnya memiliki kontekstualitas? Mungkin kota-kota besar lain seperti Surabaya, Bandung, Medan masih mempunyai sebuah kontekstualitas walaupun sudah mulai terkikis oleh derasnya arus kapitalisme. Bagaimana dengan Jakarta, apakah Jakarta punya? Dan kontekstualitas Jakarta itu seperti apa sich? Kami yang telah melakukan perjalanan tadi mempunyai kesimpulan bahwa Jakarta hampir “no-context”. Kenapa hampir? Karena di beberapa spot Jakarta, masih terdapat semangat-semangat yang masih mempertahankan kontekstualitas Jakarta sendiri walaupun sudah mulai terdesak dengan gelombang pembangunan yang secara membabi buta menerornya.

Java Plant office design by Andra Matin

Namun disini saya tidak akan membahas masalah kontekstualitas Jakarta, saya hanya ingin membagi pengalaman yang kami alami selama perjalanan mengunjungi tempat-tempat yang menurut kami sangat kontekstual. Saya secara pribadi langsung gemetar setelah masuk dan merasakan tempat-tempat tersebut, seperti tersihir oleh alunan melodi yang ditiupkan suasana. Kesederhanaan dan kejujuran desain langsung muncul sesaat kami melihatnya. Dengan menyesuaikan konteks lokasi/site desain tersebut berada, masing-masing objek banyak menggunakan dan mengoptimalkan potensi-potensi lokal daerahnya. Material-material seperti batu, kayu, tanah liat dan logam yang digunakan seperti di Sendang Sono, Borobudur, Prambanan, karya-karya Eko Prawoto berasal dari daerah sekitar objek. Tersebarnya candi-candi di pulau Jawa seperti Borobudur, Prambanan, Boko, Kalasan, Mendhut, dll menjadi sebuah kebanggaan akan budaya nusantara bahwa nenek moyang kita telah memperlihatkan kepada dunia bahwa kita pernah mempunyai budaya adi luhung yang kadang kita lupa dan merasa puas sehingga akhirnya kita kurang berusaha untuk berbuat lebih baik. Kesederhanaan akan bentuk juga terlihat dari karya Eko Prawoto seperti Cemeti Art House, rumah dan studio rekaman milik Butet dan Djaduk, rumah Eko Prawoto sendiri dengan menggunakan ornamen-ornamen tradisional Jawa yang sudah tidak terpakai lagi (bekas) sebagai elemen-elemen tambahan yang sekaligus mempunyai kualitas estetik yang tinggi walaupun ruang menjadi terlihat rustic, seperti pemakaian kayu yang dipanggul sapi atau kerbau membajak sawah sebagai railing tangga dalam karya-karyanya, kusen bekas rumah sederhana perumnas yang dipakai sebagai pintu depan rumahnya, pintu bekas rumah sakit yang berfungsi sebagai jendela serta bak pemandian mayat yang dipakai di rumah Butet sebagai kolam teratai. Eksperimen-eksperimen lainnya dengan menggunakan material-material bekas juga banyak dilakukan Eko Prawoto dan Paulus dalam karyanya seperti teknik pemasangan batu bata yang tidak konvensional disusun secara vertikal atau eksperimen lain seperti antar bata peletakkannya hanya selisih 2 mm, pola bata disusun menyerupai gedhek bambu, bata-bata bekas disusun secara horisontal sebagai alas carport, bahkan keseluruhan bata ekspos sering digunakan Paulus sebagai fasad bangunan-bangunannya dengan komposisi yang sangat menarik. Penyusunan bata pada karya Andra Matin juga tidak konvensional, bata disusun lurus ke atas secara vertikal dan selang-seling sebagai dinding sekaligus ventilasi silang untuk udara. Pemasangan keramik-keramik bekas pada lantai juga dikomposisikan secara tidak konvensional, bahkan menggunakan pecahan-pecahan keramik yang disusun dengan keramik yang masih utuh oleh Eko Prawoto, sedangkan Paulus menggunakan kayu bekas rel kereta api sebagai pathway pada entrans (pintu masuk) dengan penyusunan yang cukup rapi.

Memanfaatkan konteks dalam hal penyesuaian desain terhadap iklim tropis setempat juga dilakukan oleh arsitek-arsitek Eko Prawoto, Paulus, Andra Matin dan Idris Samad pada karya-karyanya. Semua karya mereka untuk ruang bersama tidak memakai penyejuk ruangan (AC), mereka memanfaatkan ventilasi silang di lokasi yang juga banyak memiliki vegetasi yang rimbun yang secara sengaja pula tetap dibiarkan (tidak dibabat habis). Pada karya Eko Prawoto di rumahnya dan rumah Butet serta karya Paulus, desain merekalah yang menyesuaikan peletakkan pohon di site, dan tidak membabat habis pohonnya, bahkan di dalam rumah Eko, pohon tetap dibiarkan sebagai elemen interior yang langsung menembus atap. Idris Samad dan Paulus banyak melakukan pendekatan desain beriklim tropis dengan memanfaatkan atap sebagai pendingin ruang dibawahnya dengan memakai roof garden, atap ditanami rumput yang tinggi-tinggi terlihat pada karya-karyanya dan kantornya sendiri.

Sonoseni Art Studio of Sardono W. Kusumo

Sedangkan di sanggar seni Sono Seni milik Sardono W. Kusumo, saya seperti melihat sebuah karya yang menerapkan konsep dekonstruksi secara tidak sadar. Lokasinya berada di dalam sebuah gang sempit di kota Solo, dan memanfaatkan rumah bekas yang direnovasi secara tidak konvensional. Keunikannya terlihat seperti pada pintu-pintunya termasuk pintu gerbang yang dibuat hanya dengan membongkar dinding dan tidak dirapikan kembali. Kemudian di lokasi juga dibuat ruang-ruang khusus seperti ruang bermeditasi yang sebenarnya berfungsi sebagai ruang latihan vokal. Selain itu juga terdapat 3 buah panggung yang dapat digunakan secara terbalik-balik, panggung kesatu berfungsi sebagai panggung pentas, sedangkan lainnya sebagai tempat duduk penonton, atau bisa sebaliknya. Pentas internasional sering digelar di tempat ini termasuk yang diadakan oleh Erasmus Huis ataupun Japan Foundation.

Tempat pemandian putri keraton Yogya Taman Sari karya seorang arsitek yang berasal dari Portugis juga merupakan karya dengan luas lahan yang cukup besar, pola sirkulasinya hampir menyerupai labirin yang di dalam lokasi tersebut juga terdapat perkampungan penduduk. Sayang karya yang megah terebut ada bagian yang roboh ketika terjadi gempa kemarin, walaupun sedang dilakukan reservasi oleh mahasiswa-mahasiswa UGM. Kami beruntung karena kami mengunjungi tempat tersebut serta tempat-tempat di Yogyakarta lainnya pada hari Jumat, sedangkan ketika gempa hari Sabtu kami sudah berada di Solo, sehingga sempat mendokumentasikannya. Namun kami cukup prihatin dan ikut berduka cita atas kejadian musibah gempa kemarin yang menelan cukup banyak korban.

Sendang Sono by Romomangun

Kesederhanaan dan kerendahan hati juga terihat dari aura pribadi Eko Prawoto dan Paulus ketika memberikan wejangan-wejangan kepada kami. Eko Prawoto menjelaskan bahwa selama ini dia tidak berusaha membuat desain dengan keidealisannya ataupun dengan berkompromi dengan klien, namun ia hanya merancang struktur karakter dari klien tersebut dan menguatkannya ke dalam desain. Kedekatannya dengan para seniman membuka mata, bahwa sejak dini kita harus membangun koneksi/network sebanyak-banyaknya, tidak hanya dengan teman seprofesi saja, karena akan berguna kelak di kemudian hari. Sedangkan Paulus yang terlihat lebih bersahaja penampilannya tidak segan-segan untuk menjelaskan maksud dari eksperimen-eksperimen yang selama ini dia lakukan untuk membuat karya yang lebih baik dan memberi nasehat kepada kami agar tidak pantang menyerah dan tidak takut untuk mencoba segala hal yang baru.

Semua yang kami alami serta rasakan membawa pelajaran yang berharga buat kami semua yang sedang belajar akan sebuah proses kreatif dalam mendesain. Kami berharap referensi-referensi yang terekam dalam memori kita secara intuitif dapat memberikan kekuatan fondasi kami dalam mendesain sebuah karya yang tetap menjunjung nilai kesederhanaan dan kejujuran terhadap konteks dan tidak silau lagi menghadapi desain-desain yang saling berlomba-lomba mengikuti tren dan pasar belaka. Mudah-mudahan tulisan ini juga bermanfaat buat teman-teman semua. Terima kasih.

Sigit (left) & his journey friends waiting for a train in Senen Station, Jakarta


Jakarta, 30 Mei 2006
- Sigit Kusumawijaya -


another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site: Yogyakarta & Solo, Indonesia 2006 (Traveling) "Nilai Keserdehanaan dan Kejujuran Sebuah Desain": http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/42


Work Description:
Title:
"Nilai Keserdehanaan dan Kejujuran Sebuah Desain"
Writer: Sigit Kusumawijaya
Status: Journey review
Year: 2006

Tuesday, April 14, 2009

Belajar Desain [:design learning] Publications and Flyers


These are several Publications and Flyers of BELAJAR DESAIN (in english we name it DESIGN LEARNING), an open designers community for young designers, artist, architects and other design practitioners to discuss and exhibit their works regularly. All these works were designed by Sigit Kusumawijaya as a Public Relation for Belajar Desain.



Belajar Desain [:design learning] Publications



Belajar Desain [:design learning] Flyers

All graphic design by Sigit Kusumawijaya




! NO BOUNDARY IN LEARNING DESIGN !
[architecture, interior, graphic, product, visual communication, art, music, dancing, theater, photography, film & cinematography, writing, fashion, and other kind of design]

to subscribe, send a blank email to: belajardesain-subscribe@yahoogroups.com
we also have GROUP in FACEBOOK, called DESIGN LEARNING [: designers open community] in this link: http://www.facebook.com/group.php?gid=33698896886 (you should have a Facebook account to join)

Sebuah Kenangan Manis dari Seorang “Bapak” yang Murah Senyum & Berdedikasi Tinggi [published on PIJAR PARADHARMA]


This paper is made as a contribution for the book "Pijar Paradharma", a book dedicated to Ir. Diyan Sigit, lecturer of Department of Architecture, University of Indonesia (UI) for his 72 years birthday and dedication for the Department. The cover of this book was also designed by Sigit Kusumawijaya.



Sebuah Kenangan Manis dari Seorang "Bapak" yang Murah Senyum & Berdedikasi Tinggi
by: Sigit Kusumawijaya

Book Cover design by Sigit Kusumawijaya

Sebagai mahasiswa, saya mengenal bapak Diyan Sigit ketika saya mengambil mata kuliah Perancangan Arsitektur akhir atau PA-C ketika semester 8, tepatnya bulan September 2002. Sebelum mengenal beliau, saya sudah banyak mendengar cerita dari rekan-rekan mahasiswa senior sebelumnya tentang beliau. Mereka berpendapat bahwa beliau adalah seorang yang ramah, murah senyum, suka membantu orang lain tanpa pamrih, disiplin, dan mempunyai pengabdian yang sangat tinggi terhadap pekerjaan yang beliau tekuni. Maka, ketika saya tahu bahwa dosen pembimbing yang akan membimbing saya dan kelompok saya (ketika itu Sigit Kusumawijaya, Belmeier Raymond, Ova Candra Dewi, Deuxiene Hadiningtyas (Dede), Ih Ven, Rany Nasir dan Retno Dwi Wulandari) dalam mata kuliah PA-C adalah beliau, saya sangat senang. Begitu juga ketika ternyata saya berkenalan langsung dengan beliau, seketika itu juga saya membenarkan apa yang diceritakan orang-orang mengenai beliau walau hanya dengan melihat wajahnya yang murah senyum itu.

Saya mengenal secara dekat dengan beliau memang hanya 1 semester, yaitu ketika bapak Diyan Sigit menjadi dosen pembimbing untuk perancangan akhir saya tadi. Namun perkenalan yang dirasa singkat tersebut masih tetap membekas dihati saya. Ini disebabkan karena ternyata setelah mata kuliah tersebut berakhir bahkan hingga sekarang, setiap kali saya bertemu dengan beliau, beliau masih ingat dengan saya secara dekat (mungkin karena ada kesamaan nama Sigit juga), bahkan setiap kali bertemu beliau selalu ingat dan menanyakan tentang kegiatan atau pekerjaan yang saya lakukan terakhir kali yang saya ceritakan kepada beliau. Hal itulah yang membuat saya menilai bahwa beliau memang benar-benar orang yang sangat memperhatikan orang lain tanpa memandang orang lain tersebut.

Karena saya juga seorang staff pengajar atau asisten dosen untuk Departemen Arsitektur UI hingga tulisan ini dimuat, saya masih sering bertemu dengan beliau setiap kali beliau hadir di kampus. Momen tersebut selalu saya manfaatkan untuk bersilaturahmi kembali atau sowan dengan beliau serta berdiskusi dan meminta pendapat tentang apa yang saya kerjakan belakangan, karena beliau selalu memberi saran, masukan, nasehat bahkan kritik dengan tangan terbuka.

Ketika saya masih mahasiswa pun, beliau tidak segan-segan untuk memberi masukan dan kritik kepada setiap mahasiswa yang meminta asistensi terhadapnya bahkan dengan mahasiswa yang bukan dari kelompok yang dibimbingnya ataupun mahasiswa lain yang sedang mengambil Perancangan Arsitektur lain. Secara pribadi dan juga teman-teman angkatan saya (’99), kami juga pernah merasakan kedekatan yang lebih dengan beliau. Ketika itu, bulan November 2002, pak Diyan Sigit dan keluarga menyediakan tempat berupa villa kepada angkatan kami untuk mengadakan acara kumpul bersama. Masih teringat, ketika itu kami dengan lepasnya bisa bercengkerama dengan beliau beserta istrinya yang juga ikut hadir. Bahkan keesokan paginya, kami juga sempat berpoco-poco ria dengan istri beliau di villa tersebut. Kesan lainnya yaitu ketika kelompok PA kami membuat kejutan untuk ulang tahun beliau pada tahun 2002, beliau sangat terkejut dan tidak menduga bahwa ternyata mahasiswa-mahasiswanya membuat acara seperti itu. Kesan dan pengalaman tersebut patut kami syukuri karena mungkin tidak banyak yang dapat mengenal beliau secara lebih dekat seluruh mahasiswanya dalam satu angkatan. Ini adalah bukti bahwa beliau adalah sosok pembimbing yang mempunyai sifat “kebapakkan” yang mudah dekat dengan anak-anak yang dibimbingnya tanpa pilih kasih.

Sikap disiplin yang tegas dan dedikasi yang tinggi juga tetap terjaga dalam dirinya yang murah senyum tersebut. Teringat juga ketika saya masih mahasiswa, anak-anak cenderung membandel dan menghindari bertemu dengan dosen jika pekerjaan PA-nya belum selesai, sementara pak Diyan Sigit tetap disiplin untuk selalu datang pada mata kuliah yang diajarkannya. Kemudian beliau akan menelpon mahasiswa-mahasiswa yang bandel tersebut satu per satu untuk tetap datang dan asistensi pekerjaannya sejauh yang telah diselesaikannya walaupun belum selesai banyak. Seperti halnya, ketika saya harus minta ijin sebentar, kira-kira seminggu, untuk ikut berpartisipasi dalam Temu Karya Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Indonesia (TKI-MAI) XIX 2002 di Padang yang menyebabkan saya harus absen dari PA, pak Diyan Sigit masih sempat menelepon saya dari Jakarta ke Padang untuk menanyakan keadaan saya dan memberi nasehat kepada saya untuk tetap memikirkan tugas PA-nya. Kepedulian terhadap orang lain serta terhadap institusi yang beliau abdikan sangatlah tinggi. Sejauh yang saya tahu beliau telah mengabdi kepada Fakultas Teknik UI sejak 1965, atau mungkin lebih lama dari itu. Ini merupakan sebuah dedikasi yang sangat tinggi yang dilakukan seseorang selama lebih dari 40 tahun terhadap lembaga khususnya Departemen Arsitektur FTUI.

Di dalam bidang yang beliau geluti, yaitu arsitektur, beliau sangat menekankan pentingnya kegunaan atau fungsi, utilitas serta kontekstualitas sebuah bangunan yang akan dirancang. Saya masih teringat akan kritik beliau ketika sidang PA-C saya. Kritisi beliau tentang kurangnya fungsi utilitas bangunan yang saya rancang, ketika itu merancang bandara Halim Perdana Kusuma, baru benar-benar saya sadari dan rasakan setelah saya merasakannya di dunia kerja, bahwa ternyata fungsi utilitas harus benar-benar diperhatikan, jika tidak akan membuat sistem utilitas bangunan tersebut tidak bekerja dengan baik. Dan ternyata merancang sistem utilitas dengan baik memang sangatlah sulit dan dibutuhkan pengetahuan yang lebih mendalam. Begitu juga halnya dengan fungsi bangunan, beliau selalu lebih memprioritaskan fungsi daripada bentuk bangunan walaupun beliau juga percaya bahwa keduanya penting untuk diperhatikan. Selain itu menurut beliau, bangunan yang dirancang harus sesuai dengan konteks bangunan tersebut berada dan kapan dibangunnya. Beliau juga lebih menekankan agar bangunan yang dirancang di Indonesia harus mencerminkan arsitektur Indonesia dan sesuai dengan konteks seperti kondisi geografis, bentuk harus beradaptasi dengan iklim setempat, fisika bangunannya harus lebih diperhatikan, tinjauan budaya, dan lain-lainnya.

Mudah-mudahan semua kesan dan pengalaman saya secara pribadi untuk dapat mengenal beliau dapat bermanfaat bagi saya untuk dapat berkarya lebih baik. Selain ilmu dan pengalaman yang dapat saya serap dari beliau, saya juga berharap agar dapat mengikuti dan mempraktekkan sifat-sifat teladan beliau sebagai sebuah pelajaran pengalaman dalam hidup.

Selamat ulang tahun pak Diyan Sigit, terima kasih atas semua yang telah bapak berikan kepada saya dan mohon maaf jika selama ini atau dalam tulisan saya ini ada kata atau prilaku yang kurang berkenan buat bapak.

Jakarta, 18 Desember 2005

- Sigit Kusumawijaya -



Work Description:
Title:
"Sebuah Kenangan Manis dari Seorang “Bapak” yang Murah Senyum & Berdedikasi Tinggi"
Writer: Sigit Kusumawijaya
Cover Design: Sigit Kusumawijaya
Status: Contribution Paper for PIJAR PARADHARMA, 72 tahun Ir. Diyan Sigit P., Published by Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Year: 2006
Achievement:
* Published on PIJAR PARADHARMA, 72 tahun Ir. Diyan Sigit P., by Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universita Indonesia, 2006

Monday, April 13, 2009

Empati Dalam Budaya “Elu-Elu, Gua-Gua” [published on OUTMAGZ Magazine for videography project: "Where R Ur Empathies, Jakartans?", 2006]


This is an article written by one of my colleagues, Yoso Bayudono, which was published in OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61 for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


Empati Dalam Budaya "Elu-Elu, Gua-Gua"
By: Yoso Bayudono

Seorang kawan yang setiap hari mengendarai mobil untuk bekerja sering bercerita tentang bagaimana setiap hari saat berangkat dan pulang kerja ia harus menghadapi macetnya jalanan Jakarta yang menggila. Saya yang bukan termasuk pengendara mobil sejati hanya mesam-mesem saja. Selama ini saya cukup puas dengan hanya memegang label penumpang (karena sudah ada supir saya…, supir kita bersama mungkin alias supir kendaraan umum) sehingga tidak terlalu mengeluh seperti dirinya meskipun sebenarnya juga sudah cukup muak dengan kondisi tersebut, hanya saja kaki tidak lelah menginjak gas, rem dan atau kopling. Hanya lidah dan hati yang lelah mengutuk. Yah…mungkin memang nasib pengendara mobil seperti itu, macet sudah menjadi penyakit kronis untuk sebuah kota besar seperti Jakarta ini. Konon bahkan kemacetan jalan pertama kali terjadi pada zaman Romawi dan masih lestari hingga kini.

Lain lagi cerita seorang kawan yang sangat irit ongkos sehingga lebih memilih untuk berjalan kaki baik untuk bepergian (jarak dekat tentunya…) maupun sekedar mencari udara segar dan berolahraga secara murah meriah. Suatu pagi ia sedang berjalan kaki di pedestrian sebuah jalan protokol yang cukup ramai di selatan Jakarta. Maklum sebagai seorang freelancer, ia tidak perlu datang pagi-pagi ke kantor, pasang muka dan absen, jadi ia menikmati jalan kaki paginya itu. Sementara kondisi jalanan macet merayap, insan-insan Jakarta serentak beranjak ke kantor, tempat meeting, sekolah, kampus dan lain-lain. Saat sedang asyik-asyiknya menikmati suasana, terdengar suara deru mesin motor di belakangnya diiringi klakson menyalak-nyalak. Kontan kawan saya itu minggir dengan wajah kaget. Melintaslah beberapa sepeda motor di pedestrian tersebut dengan wajah para pengendaranya yang bersungut-sungut, malah ada satu orang yang mengutukinya, “Mas, minggir dong…saya buru-buru nih!”. Lho……….?

Itu sekelumit kisah dari beberapa kawan yang tiap hari mengakrabi Jakarta. Menjadi salah satu bagian yang mengisi jalan-jalan Jakarta dan ruang-ruang publik lainnya. Menemui fenomena-fenomena urban yang menjadi bumbu dalam kehidupan metropolis ini. Menjadi bagian dari budaya jalanan.

Manusia Jakarta punya ruang pribadi masing-masing baik itu dalam rumah pribadi, kontrakan, kamar apartemen atau kamar kos…atau tempat apapun untuk melabuhkan diri pada akhir perjalanan hari…dan memulai hari esoknya kemudian. Di luar itu, manusia Jakarta kembali tumpah ruah di jalan dan ruang publik lainnya yang menjadi ajang bersinggungannya pribadi-pribadi manusia Jakarta lebur dalam ruang bersama, menyatu, saling berinteraksi, baik itu para pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor roda dua, tiga atau empat. Tapi masalahnya mungkin tanpa disadari manusia Jakarta sungguh berbudaya, kata-kata mutiara “elu-elu, gua-gua” masih dihayati begitu lekat , dimana porsi penggunaan ego cukup tinggi, sehingga sangat memungkinkan terjadinya friksi antar pribadi-pribadi tersebut. Akhirnya jalan dan ruang publik Jakarta menjadi semacam arena pertarungan antara para gladiator baik yang berdiri sendiri maupun yang menggunakan chariot atau kereta berkuda untuk bisa survive. Yang kuat menghajar yang lemah sehingga tidak haram hukumnya untuk menghancurkan pihak lain…apalagi bila posisinya lemah. Sikaaat!!!

Mungkin selain kawan-kawan saya, banyak dari kita yang pernah memiliki pengalaman-pengalaman seperti di atas, mungkin juga tubuh dan jiwa ini sudah lelah menghadapinya, lidah sudah lelah menyumpah serapah. Tapi pernahkah anda coba bertanya sendiri apa anda merasa ada yang salah disini? Atau semuanya malah wajar adanya dan sudah berjalan semestinya? Atau anda malahan tidak tahu apa-apa?

Hal inilah yang dirasakan oleh dua orang kawan, Sigit Kusumawijaya dan Priyanto, arsitek freelance sekaligus videographer yang mencoba menanggapi fenomena-fenomena urban yang mereka lihat selama ini dengan menciptakan karya dalam media video art berjudul Where R Ur Empathies, Jakartans? [:campaign project] “fenomena distorsi urban di jakarta dalam perspektif desain”. Dengan label urbVIZ [:studio] mereka mencoba memberikan pertanyaan yang menggelitik, nakal, dan iseng. Bukan ingin menjadi hakim dan menentukan mana yang salah dan mana yang benar, atau menjadi sufi bijak yang mampu memberikan jawaban atas semua masalah. Namun hanya mencoba mengajak kita untuk sedikit ber-empati dan menyadari adanya fenomena-fenomena urban tersebut yang ternyata menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Siapa tahu mungkin ada sedikit bagian dari sisi hati kita yang tergugah. Dan…berbuat sesuatu mungkin?

Proyek ini melibatkan beberapa pihak sebagai partner diskusi dan kontributor antara lain Andra Matin dan VistaVastu (arsitek), Iriantine Karnaya (perupa), Davy Linggar (fotografer), Komunitas Ruangrupa dan Belajar Desain, serta beberapa mahasiswa sebagai sukarelawan.

Empat isu ditampilkan dalam proyek ini. Isu pertama berjudul “Coloring the Gloominess of Jakarta’s Concrete” (reducing stress in the middle of Jakarta’s traffic). Sesuai dengan tema Outmagz edisi kali ini, isu “mewarnai kesuraman beton-beton Jakarta” ini akan dibahas secara lebih banyak.

Stres saat menghadapi kemacetan jalan selama berjam-jam dan merasa…MUAK? Sementara pemandangan di luar kaca mobil yang terlihat melulu jalan, flyover, underpass membelah dan mengitari kota dengan warna…abu-abu suram, kelam… gloomy. Jakarta seakan hanya merupakan kota dengan warna-warna mati seperti Gotham City dalam film Batman dan Batman Returns hasil imajinasi Tim Burton. Mungkinkah pemandangan yang kita nikmati sepanjang perjalanan kita turut mempengaruhi kondisi unconscious kita? Ya tidak tahu, saya kan bukan seorang psikolog atau semacamnya! Tapi saya bisa mengatakan itu MUNGKIN SAJA!…maksudnya mungkin saja stres muncul dari kondisi unconscious kita yang tidak mendapat pencerahan dari “pengalaman menjelajah kota” (bukan bisa saja saya menjadi seorang psikolog!).

Kalau tiba-tiba ada ide “nakal” untuk mewarnai semuanya dengan warna oranye, hijau, biru, me-ji-ku-hi-bi-ni-u atau mungkin polkadot kombinasi kuning dan ungu, mungkinkah akan punya efek psikologis mengurangi stres? Selama ini sering juga kita lihat di beberapa tembok jalan Jakarta yang sudah di”eksplorasi” oleh komunitas-komunitas grafiti seperti Tembok Bomber atau @rtcoholic sehingga terlihat lebih berwarna, tapi hal ini tidak lama karena beberapa hari lagi sudah berganti dengan cat favorit Pemda kota yang berwarna putih atau abu-abu, kembali menjadi foto buram Jakarta yang seperti dicetak sephia atau black & white.

Saya jadi ingat bagaimana mendiang Romo Mangun mengangkat citra kampung marjinal Kali Code di Yogyakarta yang semula berkesan kumuh dan jorok, seperti sebuah kutil dalam kemajuan kota yang harus dilenyapkan menjadi berkesan asri dan tumbuh harmonis dengan perkembangan kota. Selain didesain ulang secara sederhana namun bersahaja, Romo Mangun dengan dibantu warga dan sukarelawan memberikan “warna baru” pada kampung dengan cara mengecatnya berwarna-warni menciptakan citra baru kampung yang indah, hidup, tidak suram. Nah…kalau konsep tersebut kita terapkan dalam skala kota Jakarta secara menyeluruh…membuat Jakarta lebih berwarna dengan mengecat hutan beton Jakarta menjadi berwarna-warni…mungkin menjelajah Jakarta menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan alih-alih bikin stress. “Jakarta kota berwarna” atau “Warnai Jakarta” mungkin bisa jadi jargon pariwisata tahun depan.

Tapi kalau menjelajah Jakarta jadi aktivitas yang menyenangkan, bisa-bisa semua orang tumpah ruah ke jalan dan menambah macet jalan…meskipun itu terjadi mungkin paling tidak kita bisa menikmati dengan senang suasana macet itu!

Isu kedua berjudul “Pedestrian, abc & dis(Comforts)” mempertanyakan tentang pedestrian yang sesuai fungsinya ditahbiskan untuk menjadi “ruang pribadi” para pejalan kaki, namun realitanya sering dijumpai ruang ini diinterupsi oleh motor dan pedagang K5. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sudah nyamankah pejalan kaki berjalan di pedestrian tanpa harus was-was terserempet motor yang nyelonong lewat, atau terpaksa ikut slalom test diantara jajaran pohon dan tiang listrik, atau dihadang kumpulan pedagang K5 sehingga harus turun ke jalan “menjajah” ruang kendaraan bermotor? Setiap aktivitas membangun konstruksi ruangnya masing-masing serta menciptakan definisi atas ruang dan aktivitas itu sendiri. Bila aktivitas tersebut menjamah ruang aktivitas lain, dan budaya “elu-elu…gua-gua” masih dihayati begitu lekat, konflikpun tidak dapat dihindari.

Isu ketiga berjudul “re-PUZZLING Bus Shelter” (focusing on bus shelter contextuality) berusaha mengangkat realita halte–halte bus di Jakarta yang didesain dan diletakkan tidak kontekstual dengan lingkungannya. Mempergunakan metode mix & match & permainan puzzle, bagian ketiga ini mencoba memasukkan atau menukar desain halte-halte tersebut dengan desain halte dari luar negeri, membebaskan orang-orang untuk berpikir dan menentukan sendiri mana yang mereka anggap cocok.

Isu terakhir atau keempat menyajikan sebuah wacana tentang kota dan identitasnya. Dengan judul “(toothless) famed Landmark”, bagian ini menghadirkan ironi ompongnya landmark Jakarta. Landmark seperti patung, tugu atau lapangan terbuka yang merupakan ikon jalan atau wilayah sebagai penanda/identitas wilayah tersebut kondisinya semakin tertindas, kalah oleh pembangunan yang kurang menghormati/menghargai keberadaannya. Setiap bangunan seakan “berteriak”, saling berlomba paling tinggi, paling indah tanpa menghargai keberadaan landmark yang lebih dulu berada disana. Tugu Selamat Datang di bundaran HI menjadi salah satu contoh landmark yang terkepung oleh gedung-gedung tinggi yang masing-masing punya posisi cukup kuat .

Proyek ini sendiri merupakan semacam proyek kampanye yang akan diikuti dengan roadshow untuk pameran dan presentasi ke beberapa tempat seperti Open House Arsitektur UI, Belajar Desain Gathering, Ruangrupa, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan.

Nah…kalau selama ini kita (pura-pura?) tidak menyadari adanya fenomena-fenomena urban tersebut, terlalu cuek dengan dunia ruang hidup kita sendiri, mungkin tidak ada salahnya jika membuka sedikit jendela pemahaman kita terhadap fenomena-fenomena tersebut dengan mencoba tidak hanya berdiri di satu sisi. Sedikit mencoba memahami dan “seakan-akan” menjadi orang lain untuk bisa menyelami alam pikirnya. Trying to understand another people state of mind. Itu yang kita sebut dengan empati. Siapa tahu horison pemahaman kita bisa terbentang lebih luas dan jelas.

Jadi, sudah cukupkah anda ber-empati? Atau tidak cukup peduli? Tanya kepada orang di sebelah anda!

- Yoso Bayudono -
penggiat & kontributor Belajar Desain [:designers open community], bekerja sebagai arsitek di biro Vistavastu, penulis lepas, model amatir, tinggal di Cipete.
Yoso's blog: http://gerrilya.wordpress.com/



another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
JKT urban-cinematography [:project] >>>01 Publication on Magazine: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/13

This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title:
Empati Dalam Budaya “Elu-Elu, Gua-Gua”
Writer: Yoso Bayudono
Ilustrator: Adhi Nugroho
Status: Article on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61
Year: 2006
Achievement:
* Published on
OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61

Public Response for videography project: "Where R Ur Empathies, Jakartans?", 2006


These are several responses from the public about their feeling, hope, critic and aspiration about their beloved city, Jakarta, and also comments for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans? “urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] -- an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio, Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.


Public Response

This campaign project has been exhibited and presented in several places such as Open House Arsitektur UI 2006, Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 2006, and Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI). Many comments, critics and aspirations are given to this project. Public was really enthusiastic about the idea to make their beloved city, Jakarta be more comfortable to live humanly. Some of them are optimistic that we as the inhabitant can make a change. The other are still very pessimist. However the responses were great. It can be seen that there is still a hope and enthusiasm from people to make this greatest city of Indonesia become more livable.

These pictures were taken while the project being presented in Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 2006.

While the exhibition and presentation were held, the audience was given the paper to share their opinion about their beloved city freely. Many thought, idea, comment, feel, aspiration, critic and other else were written by them. Some of the opinions are showed in the poster below.


However change needs time. There are other initiative urban projects like this already exist either by architects, urban designers, artists, NGO's, musicians, and many other components which also have same purpose to make Jakarta more liveable. With those colorful of ideas we can still see many enthusiasm by the public. There is still a hope and we can do our best for our better city.




another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site:
JKT urban-cinematography [:project] >>>10 Public Responses of the Project: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/photos/album/12

This project has been presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22 on 24 Februari 2006. The documentations can be found in this link: http://groups.yahoo.com/group/belajardesain/photos/album/2082583944/pic/list

Poster Design by Sigit Kusumawijaya



Work Description:
Title:
videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans?
Team: Sigit Kusumawijaya & Priyanto
Year: 2006
Achievement:
* Entry for
OK Video 2006, International Video Competition held by Ruang Rupa, Jakarta
* Presented and exhibited on Open House Arsitektur UI, Januari 2006, Jakarta
* Presented on Belajar Desain [Design Learning] Gathering #22, 24 Februari 2006, Jakarta
* Presented on Forum of Indonesian Young Architect (Forum Arsitek Muda Indonesia/AMI), Jakarta
* Published on OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61